Perbandingan Politik Orde Lama
dengan Politik Orde Baru
Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita
dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan
dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas
sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut
maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut
demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE REFORMASI.
Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi
pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru bahwa masing-masing
Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali
berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru
sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde
Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas
sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang
mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde
Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia.
Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif
bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai
sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan
masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang
berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan
supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan
diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang
‘negara kebangsaan’ di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep ‘pembangunan
bangsa’ yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena
itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde
baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan
yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan
bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan
persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini
ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu,
tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun,
waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi
sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan
kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di
luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak
ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal
kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan
ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem
politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman
orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh
menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun
harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik
yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis
yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari
bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde
baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong
hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari
tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut
sebagai (orde) reformasi.
ORDE LAMA
Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan
Presiden Soekarno di Indonesia. Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga
1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem
ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi
liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden
Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
BERAKHIRNYA ORDE LAMA
Setelah turunnya presiden soekarno dari tumpuk kepresidenan
maka berakhirlah orde lama.kepemimpinan disahkan kepada jendral soeharto mulai
memegang kendali.pemerintahan dan menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde
baru konsefrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi
menitipberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang
pembangunan nasional.untuk mencapai titik-titik tersebut dilakukanlah upaya
pembenahan sistem keanekaragaman dan format politik yang pada prinsipnya
mempunyai sejumlah sisi yang menonjol. Yaitu:
1 .adanya konsep difungsi
ABRI
2. pengutamaan
golonga karya
3. manifikasi
kekuasaan di tangan eksekutif
4. diteruskannya
sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga pendidikan pejabat
5. kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca mengembang (flating mass)
5. kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca mengembang (flating mass)
6. karal kehidupan
pers
konsep diafungsiABRI pada masa itu secara
inplisit sebelumnya sudah ditempatkan oleh kepala staf angkatan darat.mayjen
A.H.NASUTION tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah prinsipnya menegaskan
bahwaperan tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka
melainkan juga mempunyai tugas-tugas di bidang sosial politik dengan konsep
seperti inilah dimungkinkan dan bhakan menjadi semacam KEWAJIBAN JIKALAU
MILITER BERPARTISIPASI DI BIDANG POLITIK PENERAPAN , konjungsi ini menurut
pennafsiran militer dan penguasa orde baru memperoleh landasan yuridi
konstitusional di dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan majelis
permusyawaratan rakyat.
ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan
Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk
kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Masa Jabatan Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto
untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto melakukan pergerakan untuk kensenjangan antara rakyat kaya
dan miskin dalam berbagai bidang dan peningkatan antara lain:
Politik
Dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan
dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat
tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar
dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik
melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai
ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi
sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap
provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi
dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan
dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu
sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital
internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan
persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi
mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun
tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini
meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik
Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh
rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.].
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis
keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia),
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih
sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada
tahun1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan
"Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru
di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
ERA REFORMASI
Keberhasilan
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui
sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan
meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan
ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan
mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat
keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada
pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi
budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)
Faktor Penyebab
Munculnya Reformasi
Banyak hal yang
mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama
terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde
Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan
dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus
mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses
nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya
penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru.
Pemerintahan Presiden
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan
YudhoyonoPresiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.